Tiga Belas Tahun di Bawah Asuhan Don Bosco
“Saya yakin bahwa waktu itu, orang tua saya bukan melarang saya bersekolah di tempat pilihan saya, tetapi orang tua saya lebih tahu mana tempat yang terbaik bagi saya”.
Aurelia Khezi.
Hai, it's me, Aurelia Khezi. Kalian bisa memanggilku Khezi. Ya benar sudah tiga belas tahun saya berada di bawah asuhan Persekolahan Don Bosco Tarakan dari TK-SMA sekarang ini dan kebetulan mama saya bekerja di persekolahan tersebut sebagai seorang guru di unit SMP. Wow lama banget ya… Secinta itukah sama Don Bosco? haha! Oh iya perjalanan selama itu tidak semulus yang dibayangkan. Ada banyak suka duka yang telah saya lewati selama ini, dan inilah kisahku.
Saat pertama kali masuk TK saya merasa sangat senang bisa bersekolah di sini dan bertemu teman-teman baru. Kebahagiaan sebagai seorang anak waktu itu menjadi lengkap karena kehadiran teman baikku yang adalah sepupu saya sendiri yaitu Tiara. Seiring berjalanya waktu selama kurang lebih 2 tahun di TK, saya melanjutkan pendidikan di SD, Tiara pun berada di sana bahkan kami sekelas lagi. Ketika naik ke kelas II, kami mendapatkan seorang sahabat lagi yang adalah murid pindahan, namanya Valent. Kehadiran Valent memberi warna tersendiri dalam persahabatan kami hingga saat ini. Kami bertiga pun akhirnya sekelas tetapi hanya sampai di kelas 5 karena saat di kelas 6 kami bertiga terpisah. Saya dan Valent di kelas 6B dan Tiara di kelas 6A. Kelas boleh pisah tetapi persahabatan kami tak terpisahkan. Persahabatan kami terus dibina. Kami sering menghabiskan waktu bersama baik di sekolah maupun di rumah yang kebetulan jarak rumah Tiara dan Valent tidak jauh dari rumahku. Jika saya sedang bermain ke rumah Tiara, kami bertiga tetap bisa berkumpul bersama sehingga sampai saat ini kami bertiga masih bersahabat dengan baik.
Kelas 6 adalah masa di mana saya dan teman-teman saya sudah harus menentukan ke mana kami akan melanjutkan pendidikan. Di tahap ini, tentu saja kami menginginkan sekolah mana yang terbaik buat kami. Ya, tentu saja yang terbaik termasuk sekolah unggulan versi banyak orang! Eitss, tetapi tidak semudah itu. Untuk memuluskan keinginan ke mana saya harus melanjutkan pendidikan, saya sempat mengalami konflik dengan mama saya. Bulan April 2019, saya mengikuti Ujian Nasional. Ujian hari pertama berjalan dengan lancar. Namun ketika memasuki hari kedua, tepatnya pada saat pulang sekolah, bersama mama, kami berdiskusi tentang pendidikan lanjutan saya ke jenjang SMP. Saat itu mamaku katakan: "temanmu si A aja gak jadi di SMP unggulan itu tadi mamanya cerita". Entah apa maksud mama mengungkapkan itu kepada saya tetapi dalam hati, saya tetap bersikeras dan tetap pada pendirian untuk masuk ke sekolah impian saya. "Ya sudah kalau si A gak jadi ya gak masalah, tapi saya tetap mau di sekolah pilihanku itu". Tetapi mama saya juga tetap tidak menyetujuinya dan katakan: "Apa kata orang nanti, masa mamanya mengajar di sekolah lain tapi anaknya pergi sekolah ke tempat lain". Perdebatan itu terus berjalan sepanjang perjalanan kami pulang. Mama tetap pada pendiriannya, saya pun demikian. Nampaknya belum ada yang mengalah tentang hal ini.
Rupanya panjangnya perjalanan pulang itu tidak memperpendek debat kusir kami. Perdebatan itu terus berlangsung sampai di rumah, malah semakin meluas. Mama tetap pada pendiriannya agar saya tetap melanjutkan pendidikan di Don Bosco, sementara saya tetap pada pendirian untuk tidak melanjutkan pendidikan di Don Bosco. Prinsipnya, saya ingin mencari lingkungan belajar yang baru, bukan Don Bosco lagi dan lagi. Di sinilah situasinya semakin memanas sehingga membuat saya menangis dan kebingungan. Setelah menghela nafas sejenak, saya katakan kepada mama: “Ya, sudah kalau begitu, saya sekolah di Bandung saja di tempat tante suster". Kebetulan tante saya (adik mama saya) adalah seorang suster biarawati yang juga komunitasnya memiliki persekolahan seperti Don Bosco, pernah menawarkan agar saya bersekolah di Bandung saat kami berkunjung dan berlibur di sana. Mama tetap pada pendiriannya, tidak setuju tetapi dengan alasan yang sedikit lebih diplomatis dan menghibur, “nanti setelah tamat SMP baru kamu ke sana”. Jawaban mama ini membuat saya bisa terima tetapi lagi dan lagi, litani panjang sakit hatiku, kecewa, kesal dan marah tidak berkurang. Suasana ini membuat saya tidak bertegur sapa dengan mama hingga keesokan harinya.
Tak lama setelah itu, hati saya pun sudah mulai membaik dan saya mulai berdamai dengan diri sendiri dan mulai berbicara lagi dengan mama. Singkat cerita, hari perpisahan pun tiba dan saya juga sudah memutuskan untuk tetap kembali ke Don Bosco di mana kedua sahabat saya Tiara dan Valent telah menjatuhkan pilihan mereka pada SMP Frater Don Bosco. Pilihan mereka membuat hati saya sedikit tenang dan senang; paling tidak, masih ada kedua sahabatku yang akan berjalan bersama denganku selama tiga tahun ke depan. Yah, aku tidak sendirian. Tetapi pada masa SMP, tidak terlalu banyak kenangan yang diukir karena Covid-19 melanda dunia, termasuk dunia kami sebagai anak dan remaja. Pada masa peralihan dari SD ke SMP, kami masih membutuhkan banyak waktu untuk selain belajar di kelas, tetapi juga kesempatan untuk kami bersosialisasi dengan teman-teman lainnya. Hal ini membuat kami tidak mempunyai banyak kenangan karena segala aktivitas termasuk KBM dilakukan secara daring sehingga kebersamaan kami direngut oleh masa pandemi yang ganas itu.
Kegigihan mama untuk mempertahankan saya di SMP Frater Don Bosco, membantu saya untuk semakin memahami maksud sang mama sebagai orangtua; beliau tidak mau saya jauh darinya. Kedekatan dengan saya secara fisik membantunya untuk memperhatikan saya secara lebih dekat. Beliau memastikan bahwa saya harus dalam keadaan baik dalam segala aspek hidup. Saya merasa bangga memiliki ibu seperti beliau. Setelah lulus SMP saya sendiri menyampaikan kepada mama untuk tetap melanjutkan pendidikan saya di SMA Frater Don Bosco yang berada di seberang jalan dari SMPku. Ini dorongan dari hatiku dan ini pilihanku sendiri. Pada awalnya saya berpikir bahwa kedua sahabat saya; Tiara dan Valent akan memilih sekolah lain dan kami akan berpisah saat masuk SMA, tetapi kenyataannya tidak. Tuhan masih mengizinkan kami untuk terus bersama dan melanjutkan pendidikan di sekolah yang sama; SMA Frater Don Bosco. Dan selama dua tahun di SMA ini saya merasa sangat bersyukur bisa bersekolah di sini. Dalam semangat Santo Yohanes Bosco yang dibingkai dalam Fides, Scientia et Fraternitas, kami diajar, dididik dan dilatih untuk menjadi anak-anak yang takut akan Tuhan dan hidup dalam kasih persaudaraan. Banyak hal baik yang kami terima. Pembelajaran yang baik, disiplin, kerja sama, saling menghargai, persaudaraan yang kuat antar sesama warga sekolah membuat saya merasa diterima dan nyaman untuk belajar. Saya menyadari bahwa apa yang dulunya adalah pilihan saya dan sempat menjadi pertentangan dengan orang tua, pada kenyataannya orangtua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Pergaulan bebas dan kejahatan sosial lainnya akibat kurangnya penanaman nilai moral dan agama serta kesadaran diri dan pendampingan dari orang tua, selalu menjadi kenyataan pahit di masyarakat kita saat ini. Tidak sedikit kejahatan yang kita saksikan di lingkungan sekitar kita dan juga yang diberitakan di berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Nilai-nilai kemanusiaan diinjak dan martabat manusia direndahkan. Saya yakin bahwa waktu itu, orang tua saya bukan melarang saya bersekolah di tempat pilihan saya, tetapi orang tua saya lebih tahu mana tempat yang terbaik bagi saya. Terima kasih Tuhan untuk orangtuaku yang luar biasa.
So, para sahabatku, kalau boleh berpesan, saya ingin mengungkapkan ini; keinginan dan pilihan kita itu penting tetapi mendengarkan nasehat orang tua juga penting. Soal memilih tempat untuk bersekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah, kebanyakan orang tua pasti lebih tahu ke mana kita harus bersekolah. Tumbuhkembangnya kita dalam asuhan mereka, membuat mereka menginginkan yang terbaik buat kita. Bila kita ingin memilih apapun itu, kajilah pilihan itu dengan baik dengan meminta nasehat dari orangtua dan mereka yang dapat dipercya.
Saya berharap, melalui pendidikan di sini dapat membantu saya untuk bertumbuh dan berkembang dalam iman akan Tuhan dan kasih kepada sesama. Hingga kisah ini kukisahkan, judul ceritaku di atas masih berlaku. Setahun lagi, judul dari kisahku ini akan berubah dari tiga belas menjadi “Empat Belas Tahun di Bawah Asuhan Don Bosco” saat saya tamat dari sekolah ini*
Salam hangat,
Aurelia Khezi
Kelas XI B
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini